kami mengambil artikel ini sekedar untuk berbagi saja kepada para pembaca
Pembelajaran  anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum  menempatkan  anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan  dibawah ini  dapat dipenuhi, yaitu:
 - Anak tunarungu harus memiliki bahasa  yang cukup. Artinya sebelum  anak tunarungu dimasukan dalam kelas  inklusi terlebih dahulu harus  memiliki bahasa  yang dapat menjembatani  pembelajaran yang dilakukan  dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi  dengan baik. Hal ini sangat  diperlukan agar anak tunarungu mampu  mengikuti pembelajaran dengan anak  regular lainnya tanpa harus menjadi  penonton di dalam kelas. Tanpa  bahasa yang cukup anak tunarungu hanya  sebagai hiasan di kelas inklusi  tanpa bisa mencerna dan memahami  pembelajaran yang diberikan oleh guru.
- Sekolah yang di dalamnya  menyertakan anak berkebutuhan khusus harus  memiliki guru pendamping  yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika  guru pendamping  tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa  dengan bidang kajian  yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada  di kelas inklusi.
- Guru  regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta  sedapat  mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar  pembelajaran yang  diberikan dapat dipahami dengan mudah.
- Guru regular mampu  menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi  anak tunarungu seperti  prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan,  prinsip intersubyektivitas  dan prinsip kekonkritan.
- Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
- Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika  persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran  di  kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran   tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa.   Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai   kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan   khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
 Pembelajaran  bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada  umumnya. Hal  ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi  melalui  pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi  untuk  lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi. 
 Melalui metode maternal reflektif  ini tunarungu diolah  bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara,  mengucapkan kata dengan benar  sesuai dengan artikulasinya, hingga  tunarungu mampu berkomunikasi dengan  menggunakan beberapa kalimat yang  baik dan benar.Secara garis besar,  kegiatan pembelajaran dengan  menggunakan metode ini terdiri atas  kegiatan percakapan, termasuk di  dalamnya menyimak, membaca dan menulis  yang dikemas secara terpadu dan  utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat  menemukan sendiri  kaidah-kaidah percakapan.
 - Kegiatan Percakapan
Kegiatan  percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode  maternal  reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi  dilakukan  melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis  percakapan,  yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan  dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan,  fleksibel untuk  mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak  melalui  kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau  gerakan-gerakan  lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part).   Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan   pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan   anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan,   imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan   komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan  melalui  percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada  taraf  pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya,  isyarat,  dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian  dibahasakan  oleh guru melalui seizing method dan play a double part.  Anak menerima  masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau  melalui  pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang  belum  ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan  percakapan  itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang  kemudian  dibacanya.
Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami  anak secara global  intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya  merupakan ide-ide mereka  sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan  ide-ide mereka sendiri. Oleh  karena itu membaca permulaan pada anak  tunarungu menurut MMR  merupakan membaca ideo visual.  Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan  konsonan) diberikan menyatu  dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih  bermakna yang pada akhirnya  anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan,  dan cara penulisannya.  Dengan demikian dapat diaktakan bahwa  perkembangan kemampuan berbahasa  anak berlangsung secara serempak. 
Pelaksanaan pembelajaran di  kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya  mengikuti teknik atau  kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam  membelajarkan anak  tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus  dipahami oleh  guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular  anak tunarungu  tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang  berlangsung.  Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses   pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang   mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus   dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam   substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu  di kelas inklusi haruslah benar-benar  terprogram dan selalu berbasis  pada pengembangan bahasa anak yang  dilakukan secara berkesinambungan,  karena tanpa bahasa yang dikuasai  anak tunarungu, maka pembelajaran di  kelas inklusi tidak akan  bermanfaat.
- BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI)   ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja   atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi   yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya   untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
Pembinaan  secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu  dilakukan  secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang  digunakan dan  alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan  pembinaan  secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak  bereaksi  terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi  pembelajaran di  kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau  halilintar, kemudian  guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu ?”.   Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali   meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap   bunyi latar belakang tadi
Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :
- Agar  anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata   tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih   mendekati anak normal.
- Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
- Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
- Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
- Agar  anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak  yang  lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI  dapat membantu  agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap  bicara yang lebih  baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana  BKPBI mencakup :
- Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
- Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
- Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
- Tenaga khusus pelaksana BKPBI  hendaknya memenuhi  beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar  belakang pendidikan  guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan  tentang musik, dan  memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan  musik.
Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI   sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah   bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat   ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan   luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan   bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara   ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa  kata  anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan  baik  dan benar.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi  yang dipaparkan diatas  adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran  yang memasukan anak  tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama  belajar dengan anak  mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak  tunarungu tersebut  diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak  untuk memperoleh  bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya  melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan  anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan  layanan yang  sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan  menambah  penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi   penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar   memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya   melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara.   Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas   inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah   inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara   kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan   berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan  Santi Rama, Jakarta
- Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta
- Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta 
- Dardjowidjoyo, Soenjono (2003), Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Unika  Atmajaya, Jakarta
- Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
- Griffey, Nicholas (1981), A Survey of Present Metods of Developing Language in Deaf Children
- Hargrove, Linda and James Poteet (1984), Assessment in Special Education (the education evaluation), Prentice Hall. Inc, New Jersey
- Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta 
sumber artikel dari http://www.bintangbangsaku.comsemoga bermanfaat